Pages

Kamis, 29 November 2012

BAB 7 PERTENTANGAN SOSIAL DAN INTEGRASI MASYARAKAT

Kronologis Konflik Lahan di Mesuji Lampung

Berita Lampung - Kronologis Konflik Lahan di Mesuji Lampung : Baru-baru ini sejumlah warga Mesuji mengungkap tragedi pembantaian petani di daerah mereka yang dilakukan oleh aparat keamanan dan sejumlah perusahaan perkebunan. Di depan anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta mereka mengatakan sebanyak 30 warga dibantai yang dipicu sengketa lahan di Mesuji, Lampung.

Sengketa lahan di di Kabupaten Mesuji terjadi di dua titik. Pertama, sengketa lahan antara perambah hutan di Desa Moro-moro, Pelita Jaya, dan Pekat Raya dengan PT Silva Inhutani. Mereka memperebutkan lahan seluas 43.900 hektare di Kawasan Register 45. Kedua, sengketa lahan antara warga di Desa Kagungan Dalam, Nipah Kuning, Tanjungraya di Kecamatan Tanjung Raya, dan PT Barat Selatan Makmur Investindo yang memperebutkan lahan tanah ulayat.

Para pelapor yang mengadu ke DPR Rabu lalu (14/12) itu adalah warga yang mendiami Kawasan Register 45 di Alpa 8 atau yang mereka sebut Desa Pelita Jaya, Kecamatan Mesuji Timur. Mereka merupakan korban penertiban hutan yang telah dikuasai oleh PT Silva Inhutani sejak 1996. Hak Pengelolaan Hutan Tanaman Industri yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan itu berakhir pada 2024.

Sebelumnya lahan seluas 43.900 hektare Kawasan Register 45 itu dikelola oleh PT Inhutani V hingga pertengahan tahun 1990-an. Perusahaan itu kemudian bergabung dengan PT Silva anak usaha Sungai Budi Group dan berganti menjadi nama PT Silva Inhutani. Belakangan, perusahaan gabungan itu murni dikelola oleh PT Silva.

Pada 1997 sejumlah warga mulai mendiami kawasan yang ditanam sengon dan tanaman industri lain peninggalan PT Inhutani V. Mereka menebangi tanaman yang ada di kawasan itu hingga gundul. “Jumlahnya masih sedikit. Sebagian mereka membuka usaha tambal ban di tepi Jalan Lintas Timur Sumatera,” karta Sumarno, salah seorang warga Moro-moro.

Perambah marak berdatangan setelah tahun 1999. Mereka datang dari berbagai daerah sepeti Lampung Timur, Tulangbawang, Metro bahkan dari Jawa Barat, Bali, dan Makassar. “Tanah itu kemudian dikapling-kapling dan dibagi sesama mereka. Awalnya hanya mendirikan gubung sebagai tempat melepas lelah seusai menanam singkong,” kata Penjabat Bupati Mesuji Albar Hasan Tanjung.

Saat masih masuk wilayah Kabupaten Tulangbawang, pemerintah dan aparat kerap menertibkan para perambah itu. Langkah itu tidak membuahkan hasil bahkan jumlah warga yang datang semakin panjang. “Pemerintah kerap negosiasi seumur singkong. Warga selalu berjanji akan pergi setelah singkong dipanen. Alasan itu selalu dipakai seperti pada penggusuran terakhir di Pelita Jaya,” katanya.

Para perambah itu kemudian mendirikan Desa Moro-moro yang terdiri dari Kampung Moro Seneng, Moro Dewe, dan Moro-Moro. Mereka mendirikan ladang singkong, permukiman, delapan sekolah dasar, dan tempat ibadah. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat aktif melakukan advokasi seperti Yabima dan Agra.

Rata-rata warga di desa Moro-Moro menanam singkong. Setiap warga mengelola dua hingga dua puluh hektare lahan. Bahkan, tersebut ada yang menguasai lahan hingga seratus hektare.

Kondisi itu membuat kawasan itu berkembang pesat. Gelombang selanjutnya pada tahun 2003, ratusan perambah kembali membuka lahan di Alpha 8. Mereka kemudian menyebut perkampungan itu dengan Pelita Jaya.

Selanjutnya pada tahun 2009 warga kembali dikoordiniasi oleh Pekat Raya, sebuah organisasi massa. Warga yang hendak mendapat kapling harus membayar Rp 3 juta hingga Rp 15 juta. “Semua tergantung pada luas dan lokasi. Kami harus membayar kepada pengurus,” kata Rahmad, yang sudah keluar dari kawasan itu dan memilih tinggal di Bandar Lampung.

Keberadaan perambah yang perlahan menguasai kawasan Register 45 itu membuat Pemerintah Provinsi Lampung membentuk Tim Gabungan Penertiban Perlindungan Hutan. Anggota tim itu terdiri dari polisi, TNI, jaksa, pemerintah, satuan pengamanan perusahaan dan pengamanan swakarsa. Mereka melakukan aksinya pada bulan September 2010.

Tim beranggotakan ribuan orang itulah yang menggusur permukiman dan gubuk-gubuk liar yang dibangun Pekat Raya. Sempat ada perlawanan, tapi tidak ada korban jiwa. “Penertiban yang digelar 6 November 2010 yang menyebabkan satu orang warga tewas dan satu lainnya terluka,” kata Kepala Polda Lampung Brigadir Jenderal Jodie Roosseto.

Pada penertiban itu, seorang warga, Made Asta, 38 tahun, tewas tertembak aparat. Sementara Nyoman Sumarje, 29 tahun, luka tembak di bagian kaki. Pascaperistiwa itu polisi menangkap sejumlah pengurus Pekat Raya karena telah mengkapling-kapling lahan Register 45 dan diperjualbelikan.

Tim itu kembali menggusur warga di Simpang De, Kecamatan Mesuji Timur, 21 Pebruari 2011. Warga melawan dengan memblokir Jalan Lintas Timur Sumatera. Belasan orang terluka terkena gas air mata termasuk anak-anak yang terjebak dalam bentrok itu.

Peristiwa itu membuat Tim Gabungan memberikan waktu kepada perambah hingga panen singkong usai. Hingga akhirnya, pada Rabu 14 Desember 2011, warga Pelita Jaya mengadukan ke DPR RI soal adanya pembantaian. “Kami tegaskan tidak ada pembantaian. Faktanya hanya ada satu korban tewas dan satu terluka,” kata salah seorang pejabat PT Silva Inhutani.

Dia mengaku heran dengan tudingan warga yang menyatakan perusahaan telah melanggar HAM. Dia justru menuding para perambah itu yang telah merampas dan menebangi pohon yang mereka tanam. “Kami memiliki HPH TI secara sah dan sesuai dengan prosedur. Mari selesaikan secara hukum jangan asal tuduh,” katanya.

Sementara konflik lain terjadi di Areal Perkebunan PT Barat Selatan Makmur Investindo. Perusahaan itu terlibat sengketa dengan penduduk asli di Tanjungraya. Warga menganggap perusahaan telah menyerobot lahan milik mereka yang telah digarap turun-temurun. “Kami sudah berjuang meminta lahan itu dikembalikan sejak tujuh belas tahun lalu,” kata Rano Karno, Kagungan Dalam, Tanjung Raya, Kabupaten Mesuji, yang menjadi korban tembak aparat pada peristiwa itu.

Puncaknya pada 10 Nopember 2011. Warga yang hendak memanen sawit di lahan yang mereka klaim diberondong peluru aparat. Zailani, 45 tahun, warga Kagungan Dalam tewas di tempat, serta 4 orang lainnya terluka. “Polisi menembaki kami dengan membabi buta,” katanya.

Saat ini Lembaga Bantuan Hukum Bandar Lampung dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mengadvokasi para korban sengketa lahan di desa Nipah Kuning, Kagungan Dalam, dan Tanjung Raya. LBH menuding tragedi berdarah itu karena polisi lebih berpihak pada perusahaan. “Ada upaya pembantaian. Warga dihujani tembakan dari berbagai arah. Tidak ditemukan perlawanan warga,” kata Direktur LBH Bandar Lampung Indra Firsada.

Polda Lampung sendiri telah menahan Ajun Komisaris Wetman Hutagaol dan Aiptu Dian Permana karena dianggap lalai dan menyebabkan warga tewas dan terluka. Keduanya juga dihukum dengan ditunda kenaikan pangkatnya secara berkala. “Hukuman itu terlalu ringan. Mestinya mereka diseret ke pengadilan,” ujar Indra.
SUMBER :http://berita-lampung.blogspot.com/2011/12/kronologis-konflik-lahan-di-mesuji.html

Selasa, 27 November 2012

BAB 6 PELAPISAN SOSIAL DAN KESAMAAN DERAJAT

SISTEM KASTA DIBALI
Nama Orang Bali pada umumnya relatif panjang. Sebagai contoh nama saya sendiri adalah I Gusti Agung Made Wirautama. Cukup panjang bukan? Itu padahal nama intinya hanya satu kata yaitu “Wirautama”, bisa jadi lebih panjang lagi jika nama intinya lebih dari satu kata.
Lalu apa maksud dari “I Gusti Agung Made” pada nama saya?
Nama orang Bali umumnya diawali dengan sebutan yang mencirikan kasta dan urutan kelahiran. Sebelum saya melanjutkan, disini saya tidak ingin membahas masalah kasta yang sering menjadi pro dan kontra di masyarakat khususnya di Bali.
Jadi, nama orang Bali menjadi panjang karena di depannya ada embel-embel kasta atau nama keluarga (semacam marga) dan urutan kelahiran. Seperti saya, “I Gusti Agung” adalah mencirikan saya berasal dari kasta Ksatria. Selain itu ada juga I Gusti, I Gusti Ngurah, Anak Agung, Cokorda, I Dewa, Ida Bagus, Ida Ayu dan lainnya.
Selain embel-embel kasta, ada juga kata Made. Ini adalah ciri bahwa saya anak kedua. Jadi pada umumnya orang Bali bisa diketahui dia anak ke berapa dari nama depannya. Anak pertama biasanya diberi awalan Putu, Wayan (biasanya untuk laki-laki), Luh (khusus perempuan), Gede. Anak kedua : Made, Nengah, Kadek. Ketiga : Nyoman, Komang. Keempat : Ketut (kadang digunakan untuk anak ketiga). Untuk anak selanjutnya biasanya diulang lagi dari awal.
Dari nama berdasarkan urutan kelahiran mungkin bisa dikatakan orang Bali sudah menerapkan sistem keluarga berencana ala Bali sejak dahulu. Ya walaupun pada prakteknya orang Bali dulu memiliki relatif banyak anak. Ayah saya saja memiliki 8 saudara, itu belum termasuk yang meninggal ketika masih kecil.
Oya, sistem nama berdasarkan kasta juga berkaitan dengan nama depan yang berdasarkan urutan lahir. Misalnya tidak ada orang berkasta yang memiliki awalan Luh atau Wayan. Begitu pula dari kasta Brahmana jarang yang menggunakan nama depan berdasarkan urutan kelahiran seperti Putu, Made, Ketut, jadi cukup berawalan Ida Bagus (laki-laki) atau Ida Ayu (perempuan) saja.
Nama orang Bali laki-laki dan perempuan juga ada ciri tertentu, misalnya kalau diawali dengan huruf/kata “I” biasanya orang laki-laki dan perempuan diawali dengan kata “Ni”. Tapi tidak semua kasta / orang Bali menggunakan kata I atau Ni. Misalnya dari golongan Anak Agung semuanya akan diawali dengan kata “Anak Agung”.
Namun semua tradisi bukannya tidak mengalami perubahan. Contohnya dulu Putu hanya digunakan untuk nama orang berkasta namun sekarang semua orang biasa menggunakannya untuk nama depan anak pertama mereka tidak perduli dari kasta apapun.
Nama orang Bali ini merupakan salah satu keunikan yang ada di Bali dan hingga saat ini sebagian besar orang Bali masih menggunakannya.
Catur Wangsa vs Catur Warna
Dalam ajaran agama Hindu (agama mayoritas di Bali), setahu saya ajaran tentang kasta (Catur Wangsa) tidaklah ada, yang ada adalah Catur Warna. Dan menurut apa yang pernah saya baca, baik di internet, koran atau pun lainnya, konon sistem kasta baru ada semenjak abad ke 14.
Sistem Catur Warna “diubah” oleh Belanda yang dulu menjajah Indonesia, tujuannya yaitu untuk memecah belah kekuatan di masyarakat, yaitu dengan semakin memperlebar jarak antara Raja dan rakyatnya, memecah masyarakat ke dalam kelompok-kelompok kasta, salah satu trik adu domba.
Itu sedikit sejarah yang saya tahu. Lalu bagaimana dengan keadaan saat ini? Saat ini masalah kasta tentu saja masih menjadi pro dan kontra. Ada yang masih begitu fanatik dengan kasta namun ada juga yang bersikap biasa saja dan tidak terlalu peduli masalah kasta.
Saat ini bisa dikatakan kasta di Bali yang saya tahu terdiri dari 3 bagian yaitu :
  • Golongan 1 : Ida Bagus dan lainnya
  • Golongan 2 : Cokorda, Anak Agung, Gusti dan lainnya
  • Golongan 3 : Tidak berkasta
Kasta Dalam Kehidupan Sehari-Hari
Dalam kehidupan sehari-hari, pada umumnya mereka yang berkasta menggunakan bahasa Bali halus untuk berkomunikasi dengan kasta yang selevel dan level di atasnya. Sementara ketika berbicara dengan berkasta lebih rendah, yang memiliki kasta lebih tinggi kadang dianggap bisa menggunakan bahasa yang biasa atau lebih ‘kasar’.
Dalam kegiatan sosial masyarakat, mereka yang berkasta lebih tinggi juga biasanya lebih dihormati, salah satunya ditunjukkan dengan bahasa seperti yang saya katakan diatas. Apalagi mereka yang berkasta itu kebetulan secara ekonomi lebih mampu alias kaya.
Tentu tidak semua orang seperti itu, banyak juga mereka yang tidak berkasta namun tetap dihormati. Dan kembali juga kepada masing-masing orang karena pada kenyataannya tidak ada aturan yang mengharuskan seseorang hormat kepada mereka yang berkasta.

Kasta

Kasta dari bahasa portugis adalah pembagian masyarakat.
Kasta yang sebenarnya merupakan perkumpulan tukang-tukang, atau orang-orang ahli dalam bidang tertentu, semestinya harus dibedakan dari warna atau catur warna (Hindu), karena memang pengertian di antara kedua istilah ini tidak sama. Pembagian manusia dalam masyarakat agama hindu:
  1. Warna Brahmana, para pekerja di bidang spiritual ; sulinggih, pandita dan rohaniawan.
  2. Warna Ksatria, para kepala dan anggota lembaga pemerintahan.
  3. Warna Waisya, para pekerja di bidang ekonomi
  4. Warna Sudra, para pekerja yang mempunyai tugas melayani/membantu ketiga warna di atas.
Diantaranya adalah :
Brahmana adalah salah satu golongan karya atau warna dalam agama Hindu. Mereka adalah golongan cendekiawan yang mampu menguasai ajaran, pengetahuan, adat, adab hingga keagamaan. Di zaman dahulu, golongan ini umumnya adalah kaum pendeta, agamawan atau brahmin. Mereka juga disebut golongan paderi atau sami. Kaum Brahmana tidak suka kekerasan yang disimbolisasi dengan tidak memakan dari makluk berdarah (bernyawa). Sehingga seorang Brahmana sering menjadi seorang Vegetarian. Brahmana adalah golongan karya yang memiliki kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan baik pengetahuan suci maupun pengetahuan ilmiah secara umum. Dahulu kita bertanya tentang ilmu pengetahuan dan gejala alam kepada para brahmana. Bakat kelahiran adalah mampu mengendalikan pikiran dan prilaku, menulis dan berbicara yang benar, baik, indah, menyejukkan dan menyenangkan. Kemampuan itu menjadi landasan untuk mensejahterakan masyarakat, negara dan umat manusia dengan jalan mengamalkan ilmu pengetahuannya, menjadi manggala (yang dituakan dan diposisikan secara terhormat), atau dalam keagamaan menjadi pemimpin upacara keagamaan.

Kesatria atau ksatria, adalah kasta atau warna dalam agama Hindu. Kasta ksatria ini merupakan bangsawan dan merupakan tokoh masyarakat bertugas sebagai penegak keamanan, penegak keadilan, pemimpin masyarakat, pembela kaum tertindas atau lemah karena ketidak-adilan dan ketidak-benaran. Tugas utama seorang ksatria adalah menegakkan kebenaran, bertanggung jawab, lugas, cekatan, prilaku pelopor, memperhatikan keselamatan dan keamanan, adil, dan selalu siap berkorban untuk tegaknya kebenaran dan keadilan. Di zaman dahulu ksatria merujuk pada klas masyarakat kasta bangsawan atau tentara, hingga raja.
Zaman sekarang, ksatria merujuk pada profesi seorang yang mengabdi pada penegakan hukum, kebenaran dan keadilan prajurit, bisa pula berarti perwira yang gagah berani atau pemberani. Kelompok ini termasuk pemimpin negara, pimpinan lembaga atau tokoh masyarakat karena tugasnya untuk menjamin terciptanya kebenaran, kebaikan, keadilan dan keamanan di masyarakat, bangsa dan negara.

Waisya adalah golongan karya atau warna dalam tata masyarakat menurut agama Hindu. Bersama-sama dengan Brahmana dan Ksatria, mereka disebut Tri Wangsa, tiga kelompok golongan keraya atau profesi yang menjadi pilar penciptaan kemakmuran masyarakat. Bakat dasar golongan Waisya adalah penuh perhitungan, tekun, trampil, hemat, cermat, kemampuan pengelolaan asset (kepemilikan) sehingga kaum Wasya hampir identik dengan kaum pedagang atau pebisnis. Kaum Waisya adalah kelompok yang mendapat tanggungjawab untuk menyelenggarakan kegiatan ekonomi dan bisnis agar terjadi proses distribusi dan redistribusi pendapatan dan penghasilan, sehingga kemakmuran masyarakat, negara dan kemanusiaan tercapai.

Sudra (Sanskerta: śūdra) adalah sebuah golongan profesi (golongan karya) atau warna dalam agama Hindu di India. Warna ini merupakan warna yang paling rendah. Warna lainnya adalah brahmana, ksatria, dan waisya. Sudra adalah golongan karya seseorang yang bila hendak melaksanakan profesinya sepenuhnya mengandalkan kekuatan jasmaniah, ketaatan, kepolosan, keluguan, serta bakat ketekunannya. Tugas utamanya adalah berkaitan langsung dengan tugas-tugas memakmurkan masyarakat negara dan umat manusia atas petunjuk-petunjuk golongan karya di atasnya, seperti menjadi buruh, tukang, pekerja kasar, petani, pelayan, nelayan, penjaga, dll.

 sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kasta





Senin, 05 November 2012

BAB V WARGA NEGARA DAN NEGARA

1. Siapa saja yang disebut warga negara RI?

  1. setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI.
  2. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
  3. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga negara asing (WNA), atau sebaliknya
  4. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut
  5. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI
  6. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI
  7. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin
  8. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
  9. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah megara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui
  10. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya
  11. anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan
  12. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi
  1. anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing
  2. anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan
  3. anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
  4. anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.
Kewarganegaraan RI di peroleh melalui apa saja?
  1. Telah berusia 18th atau sudah nikah.
  2. Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara RI paling singkat 5th   berturut-turut atau paling singkat 10th tidak berturut-turut.
  3. Sehat jasmani dan rohani.
  4. Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan UUD'45
  5. Tidak pernah di jatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang di ancam penjara 1th.
  6. Jika dengan memperoleh kewarganegaraan Indonesia, tidak menjadi kewarganegaraan ganda
  7. Mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap.
  8. Membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara. 
  9. Mempunyai Kartu Tanda Penduduk.